Jumat, 20 Juli 2007

Kisah Tiga Srikandi di Belantara Borneo

Puluhan anak panah melesat dengan cepat di atas lapangan pertandingan cabang panahan Olimpiade Seoul 1988. Begitu anak panah yang dilepaskan Lilies Handayani, Kusuma Wardhani, dan Nur . triana Lantang melesak ke bidang sasaran, sejarah baru pun tertoreh. Untuk kali pertama Indonesia meraih medali di ajang Olimpiade. Nun di Kalimantan Barat, juga ada trio srikandi berprestasi. Mereka bukan merentangkan busur dan anak panah, melainkan keluar-masuk hutan memburu anggrek spesies.
Beginilah pemandangan di halaman depan kediaman Ir Agustina Listiawati, MP, di salah satu sudut kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pot-pot berwarna jingga, hijau, dan hitam, berderet rapi di atas rak-rak kayu dan besi. Shading net hitam membentang sepanjang atap greenhouse sederhana seluas 120 m2 dan 200 m2. Puluhan tempurung kelapa menempel di beberapa dinding greenhouse yang terbuat dari kawat. Potongan-potongan pakis menggantung rapi di sana-sini, berselingan dengan pot-pot plastik.
Di sanalah, Lies -sapaan akrab Agustina Listiawati -merawat ratusan 300 anggrek spesies asli Kalimantan Barat yang terkenal eksotis. Sebut saja misalnya Phalaenopsis bellina berdaun lebar dengan bunga mungil berwarna putih kehijauan bersaput merah keunguan. Atau Arachis breviscava yang berbunga kuning dengan totol-totol cokelat tua. Ada juga Paraphalaenopsis serpentilingua berbunga putih berlidah kuning yang tumbuh bergerombol. Saat anggrek-anggrek spesies itu berkembang, berbunga-bunga pulalah hati Lies.
Anggrek borneo
Pemandangan hampir serupa terlihat di kediaman Ir Chairani Siregar, MSc dan Ir Purwanti, MSi -juga di Pontianak. Di nurseri A &Z Orchids milik Chairani, terlihat Dyakia hendersoniana . Anggrek berbunga mungil berwarna merah cerah itu endemik Kalimantan. Di alam bebas, tanaman epifi t itu kini sangat jarang dijumpai. Koleksi lain, Macodes petola. Anggota famili Orchidaceae itu salah satu koleksi istimewa perempuan kelahiran Tapanuli, 8 Februari 1949 itu. Maklum jewel orchids -begitu sebutannya -salah satu anggrek yang berdaun paling indah.
Lain lagi koleksi Purwaningsih. Master dari Institut Pertanian Bogor itu, mengoleksi Tainia pausipolia -anggrek tanah berbunga merah tua seperti manggis yang tahan lama. Di habitatnya di tepian sungai di hutan-hutan dataran tinggi Sanggau, Sintang, dan Landak keindahannya bisa dinikmati sepanjang tahun. Jenis lain, Phalaenopsis cornucervi . Kerabat vanili asal Sambas, Singkawang, Bengkayang, Sanggau, dan Sekadau itu sering disebut anggrek ekor buaya atau anggrek bulan loreng karena motif bunga yang loreng-loreng.
Bukan hal aneh bila halaman rumah Lies, Chairani, dan Purwaningsih melulu berisi anggrek-anggrek spesies asal Kalimantan. Ketiga perempuan yang sama-sama berprofesi sebagai pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura itu dikenal sebagai 3 serangkai pencinta anggrek borneo. Boleh dibilang merekalah kolektor anggrek spesies borneo -terutama dari Kalimantan Barat -terlengkap.
Keluar-masuk hutan untuk mendapatkan koleksi baru sudah jadi santapan rutin. Mulai dari hutan-hutan di Sambas, Singkawang, Landak, Sanggau -semua di Kalimantan Barat -sampai Serikin dan Biawak -wilayah Malaysia Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bengkayang Sambas, serta Kuching, ibukota Serawak. Maklum sekitar 80%anggrek koleksi mereka memang hasil berburu langsung ke hutan-hutan. “Hampir semua hutan di seluruh Kalimantan Barat sudah kami jelajahi, kecuali yang berada di Kabupaen Ketapang dan Kapuashulu,” kenang Lies.
Terendam air
Kegiatan memburu anggrek di perbatasan Sambas dan Serawak menjadi pengalaman paling berkesan. Perjalanan itu dimulai dari Pontianak menuju Sambas - ibukota Kabupaten Sambas yang ditempuh dengan waktu 5 jam berkendaraan roda empat. Dari Sambas, rombongan bergerak ke arah Kecamatan Galing selama 3 jam bermobil. Sampai di sana, mereka mesti berganti kendaraan dengan ojek karena jalan yang ditempuh hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Selama 2 jam, perempuan-perempuan tangguh itu dibuat pontang-panting di jalan berbukit-bukit yang berpasir dan berdebu.
Namun, mereka pantang menyerah demi mendapatkan Paphiopedilum sandrianum -anggrek yang konon hanya ada di Sajingabesar di Gunung Kaliau. Sayang, begitu tiba di lokasi, sang buruan tak kunjung ditemukan. “Kami malah menemukan Arachis breviscava yang sedang berbunga. Itu pun cuma ada 2 tanaman setinggi 3 m, ” kata Lies.
Pengalaman tak kalah mendebarkan waktu memburu Paraphalaenopsis serpentilingua di Kabupaten Sekadau. Perjalanan mencari anggrek berjuluk lau tikus (ekor tikus, red) itu tak semudah yang dibayangkan. Dipandu warga setempat, mereka bermotor air menempuh perjalanan selama 2 jam menyusuri sungai. Itu dilanjutkan dengan berjalan kaki selama 2 jam di tanah banjir setinggi pinggang. Apadaya, setelah berjuang selama 4 jam, yang didapat hanya 2 tanaman setinggi 30 cm. Toh, medan berat selama perburuan tak menyurutkan langkah para srikandi itu mencari anggrek-anggrek spesies baru. “Habis jalan ke hutan menyenangkan. Semua beban pikiran sepertinya lepas, ” kata Lies. Pantas tiga serangkai itu tidak pernah kapok keluar-masuk hutan.
Dari pameran
Kebersamaan mereka sebetulnya tanpa sengaja. Mula-mula Lies, Chairani, dan Purwaningsih berjalan sendiri-sendiri mengoleksi tanaman epifi t itu. Sejak semasa kuliah Lies sudah gemar mengoleksi anggrek. Namun, waktu itu jenis-jenis hibrida yang banyak dimiliki. Chairani yang mengambil master di University of Kentucky, Lexington, Amerika Serikat, suka anggrek gara-gara terpikat pesona anggrek merpati Dendrobium crumenatum yang harum.
Belakangan setelah sama-sama aktif di PAI, mereka melirik anggrek spesies. “Keragamannya luar biasa. Mulai dari yang berukuran bunga kecil sampai besar. Bunganya ada yang tahan setengah hari sampai yang berbulan-bulan. Ada yang beraroma harum seperti Coelogyne asperata dan Phalaenopsis belina sampai yang berbau busuk seperti Bulbophyllum beccari, ” kata Lies, Chairani, dan Purwaningsih sepakat. Anggrek spesies yang pertama dimiliki Lies ialah anggrek tebu Grammatophyllum speciosum , anggrek pandan Cymbidium finlaysonianum , dan Dorrotis pulcherrima . Chairani punya Plocoglotis lowii . Sementara koleksi pertama Purwaningsih adalah Phalaenopsis bellina dan Tainia pauspolia.
Sebuah pameran di Museum Negeri Kalimantan Barat pada 2002 akhirnya mempertemukan mereka. Waktu itu, masing-masing diminta mengisi stan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura yang masih kosong. Kebetulan Lies, Chairani, dan Purwaningsih dikenal oleh teman-teman sebagai pencinta tanaman. Jadilah mereka bertiga mengisi stan itu.
“Dari situ kami jadi sering ngobrol-ngobrol , ” kata Lies yang kini memiliki Khuby Orchids. Usut punya usut, ternyata ketiga aktivis organisasi Perhimpunan Anggrek Indonesia Provinsi Kalimantan Barat dan Kota Pontianak itu sama-sama gemar berburu anggrek spesies ke hutan. Daripada berburu sendiri-sendiri, akhirnya mereka pun sepakat bergabung. Eksplorasi bersama pertama ialah ke hutan-hutan di Kabupaten Sambas sepanjang 2003 -2004 yang dibiayai oleh pemda setempat. Dari perburuan perdana itu, lalu penjelajahan berlanjut ke hutan-hutan di 7 kabupaten lain.
Anggrek borneo lestari
Kini, kerja keras 3 srikandi itu terpampang jelas di nurseri masing-masing. Chairani mengoleksi sekitar 300 spesies. Macodes petola dan Arachis breviscava yang langka jadi koleksi kebanggaan. Sejumlah sama juga dikoleksi Lies. Ketua Litbang dan Konservasi PAI Kota Pontianak itu paling suka dengan Nevervilia discolor. Sementara dari 100 koleksi Purwaningsih, Tainia pausipolia dan Porpiroglottis maxwelie jadi kesayangan. T. pausipolia milik perempuan kelahiran Pontianak, 16 September 1958 itu menjadi juara umum dalam Borneo Orchids Show pada 2003.
Dari belantara borneo, anggrek-anggrek itu ditangkarkan. Hasil keluar-masuk hutan mereka dokumentasikan dalam sebuah terbitan tentang anggrek spesies Kalimantan Barat. Kepedulian untuk melestarikan anggrek-anggrek spesies borneo agar tak punah jadi perekat erat hubungan mereka. (http://www.nenganggrek.com)

Tidak ada komentar: